sinarmaluku.com – Panitia Khusus (Pansus) Pasar Mardika bentukan DPRD Provinsi Maluku, resmi terbentuk. Pansus dibentuk lembaga politik itu untuk menyelesaikan berbagai persoalan di pasar terbesar di Provinsi Maluku.
Persoalan di pasar Mardika meliputi, pembangunan lapak, tagihan listrik, parkiran, pungutan liar dan sejumlah persoalan lainya.
Untuk itu, Pansus Pasar Mardika, menargetkan penyelesaian berbagai persoalan hingga perjanjian kerja sama Pemda dengan pihak ketiga untuk diselesaikan secepatnya dan mencari solusi yang menguntungkan pedagang maupun pemerintah daerah.
“Anggota Pansus ini dari komisi I, komisi II, serta komisi III,” kata ketua Pansus Pasar Mardika, Richard Rahakbauw, kepada wartawan, Selasa (11/4/2023).
Ketua Komisi III DPRD Provinsi Maluku ini mengaku, penentuan dua anggota pansus dari komisi I karena berkaitan dengan hukum serta perjanjian kerjasama antara pemerintah provinsi dengan PT Bumi Perkasa Timur selaku pihak ketiga dalam pengelolaan pasar dan terminal hingga Ruko Mardika maupun Batumerah.
Wakil rakyat dari daerah pemilihan Kota Ambon ini menyebut, anggota pansus dari komisi II DPRD Maluku karena terkait persoalan listrik yang terpasang pada kios-kios dan lapak pedagang di pasar tersebut.
Menurut dia, belum adanya pendapatan daerah di provinsi yang masuk melalui pengelolaan pasar dan terminal juga menjadi perhatian serius pansus.
“Sedangkan gedung pasar baru yang sementara dibangun dan hampir rampung, perlu dilakukan penataan sejak awal sehingga di masa datang tidak menimbulkan persoalan, termasuk kemungkinan penjualan kios dari satu pedagang kepada pedagang yang lain,” paparnya.
Apalagi, kata politisi Partai Golkar ini, daya tampung pedagang di gedung pasar baru ini tentunya belum bisa merangkul semua pedagang yang jumlahnya sekitar 4.000-an orang, sehingga perlu dipikirkan solusi terbaik yang saling menguntungkan pedagang maupun pemerintah daerah.
“Kita juga berharap, setiap petugas pemerintah yang menjalankan fungsinya di kawasan pasar serta terminal juga harus berseragam lengkap dan resmi agar tidak menimbulkan interprestasi buruk, sebab melakukan penagihan retribusi dengan pakaian preman bisa dianggap pungutan liar,”pungkasnya. (***)
